Safari Literasi Bangkitkan Tradisi Ilmiah
Berkarya Tiada Henti
Wahyudin, M.Pd.I : Ketua Pokjawas PAI Kemenag
Kab. Bekasi
Praktisi Pendidikan Islam, Penulis Buku dan Pegiat Literasi
Dunia literasi akhir-akhir ini sedang sampai pada momentumnya. Sebagai bukti, Kemendikbud menggulirkan Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Setiap sekolah dari TK hingga SLTA bahkan Perguruan Tinggi berlomba meng-kampanyekan literasi dengan berbagai bentuknya. Seperti termaktub dalam Hands-Out Bahan Pelatihan Kurikulum 2013 (Kemendikbud: 2017: 44) diungkapkan bahwa “literasi berarti kemampuan untuk memahami, mempergunakan, dan menciptakan berbagai bentuk informasi untuk perkembangan diri dan sosial dalam rangka pembangunan dan kehidupan yang lebih baik. Literasi mengacu pada kemampuan membaca, menulis dan mempergunakan berbagai media sebagai sumber belajar secara kritis. Literasi yang dibutuhkan di abad 21 diantaranya adalah kemampuan komunikasi, berbahasa, keterampilan mempergunakan dan mengolah informasi. Ini semua membutuhkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif”. Sangat universal makna literasi ini, bukan hanya membaca atau menulis ansich tetapi memproduksi gagasan dan mengolah data termasuk literasi pada era digital yang penuh tantangan ini.
Lebih intens lagi, kita pahami bahwa literasi itu bukan hanya membaca tetapi satu paket dengan menulis. Orang yang menjadikan habit membaca idealnya mampu menuliskannya. Sangatlah jelas yang disinyalir Al quran, Iqra dan dihubungkan dengan Allazi Allama Bilqolam. (QS. Al Alaq : [96] : 1 dan 4), diawali dengan membaca dan dilanjutkan dengan menuliskannya. Bahkan M. Quraish Shibab (2000: 167) mengartikan kata iqra dinukil dari kata qara'a artinya “menghimpun”. Lebih luas dikatakan bahwa iqra artinya menyampaikan, menelaah, membaca, mendalami, meneliti, mengetahui ciri-cirinya dan sebagainya. Betapa luasnya makna iqra sehingga hal ini memberi peluang kepada kita untuk meningkatkan kualitas diri. Baik pengembangan ilmu secara teoritis maupun dalam tataran praktis. Inilah makna iqra dalam membangun peradaban.
Merujuk pada hasil statistik yang sangat menggemparkan menjadi bahan evaluasi bangsa ini diungkapkan Satria Dharma Penggiat Literasi Nasional dalam Catur Nurrohman Octavian (2016) menyatakan bahwa untuk urusan most literate nation (kaitan membaca dan menulis) bangsa Indonesia berada di peringkat 60 dari 61 negara. Menurut hemat saya hasil statistik ini sangat ironis. Mengapa demikian? Karena NKRI nota bene berpenduduk mayoritas muslim sudah memahami urgensi iqra yang dijelaskan di dalam Al quran. Idealnya memahami betul bahwa sumber menggali dan menguasai ilmu pengetahuan mutlak dengan iqra yaitu membaca dan menulis.
Untuk memberikan kontribusi sesuai kapasitas, sebagai ASN Kemenag saya berupaya untuk menggaungkan kesadaran berliterasi dengan safari literasi. Gayung bersambut, realiasi safari ini diawali dengan mengikuti beberapa kali acara kepenulisan untuk meningkatkan minat membaca dan menulis. Sehingga ada spirit membara untuk membangkitkan energi membaca dan menulis. Terutama hal menulis, mayoritas orang sangat enggan. Ada semacam stigma negatif bahwa menulis itu susah. Menulis membuat seseorang menjadi stress tertekan dan mindset negatif lainnya.
Saya teringat dengan pendapat Hernowo Hasim (2017) dalam bukunya Free Writing dalam Kata Pengantarnya Haidar Bagir mengutip pemikiran Goldberg mengatakan “ada surga menulis, yaitu jika seseorang berhasil mengalirkan pemikirannya sendiri secara bebas dan tanpa tekanan. Atau menulis secara spontan tanpa memikirkan terlalu dalam apa yang ditulis. Suatu saat ada waktunya untuk mengkorelasikan secara fenomenologis.”. Menulis bebas, cikal bakal semangat seseorang untuk menuliskan sebuah karya.
Terlebih di
zaman serba digital ini masih menurut Haidar Bagir bahwa di zaman maraknya copy
paste maka free writing sangat penting. Pertama, memberikan peluang
kepada siapa saja untuk membangkitkan potensi menulis dalam cara-cara yang mudah,
ringan dan menyenangkan. Kedua, ia juga akan memperkaya strategi menulis karena
memanfaatkan otak belahan kanan yang sangat potensial, dan ketiga, ia
berpeluang mengubah banyak orang yang tidak suka menulis atau sudah
bertahun-tahun mengalami trauma menulis menjadi senang dengan menulis.
Realitas di atas membangkitkan semangat saya untuk mengadakan Safari Literasi dalam upaya membangkitkan tradisi ilmiah. Setelah saya bersafari ke sekolah dan madrasah ternyata motivasi literasi dikalangan Guru dan Tenaga Kependidikan relatif lemah. Terutama dalam hal menulis karya ilmiah, baik Penelitian Tindakan Kelas (PTK), artikel, assay, puisi, prosa atau reportase sederhana baik yang berkaitan dengan tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) maupun yang ada hubungannya dengan fenomena sosial. Di antara penyebabnya yaitu minimnya daya baca sehingga sulit sekali untuk menggoreskan pena. Seperti dijelaskan Hernowo Hasim (2017: 7) mengutip pesan penting Dr. Krashen dalam bukunya, The Power of Reading bahwa “membaca adalah memasukkan kata ke dalam diri. Semakin sang diri banyak membaca dan buku-buku yang dibacanya memiliki keragaman serta kekayaan kata yang luar biasa maka diri tersebut juga akan memiliki perbendaharaan kata yang kaya dan beragam”. Saya menjadi tertantang untuk membuka misteri fenomena tersebut. Mengapa guru yang nota bene berkecimpung di dunia pendidikan dan ilmiah sangat lemah dalam hal berliterasi terutama menulis? Pertanyaan ini bisa dijawab saat saya mengadakan safari literasi.
Safari Literasi dengan Pelatihan Menulis dan Melatih Menulis
Diawali
mengikuti pelatihan menulis di Sawangan pada tahun 2016 sangat menggugah spirit
menulis, karena saat itu berkumpul Guru,
Dosen, Widya Iswara dan Pengawas dari beberapa provinsi. Secara umum mereka
sudah giat menulis bahkan banyak yang sudah menerbitkan beberapa buku. Mulai
saat inilah ada hasrat untuk menulis setelah tahun 2005 menyelesaikan tugas
akademik menulis Tesis ketika Studi Pasca Sarjana di UNISMA Bekasi. Saya
memprediksi setiap Sarjana atau yang sudah kuliah di Pasca Sarjana pasti bisa
membudayakan menulis. Ternyata realitasnya tidak demikian banyak hal yang
memengaruhinya.
Sangat relevan yang diungkapkan Renald Kasali dalam Hernowo Hasim (2016:28),”banyak orang berpikir, para sarjana otomatis bisa menulis. Faktanya, banyak dosen yang mengambil program doktor kesulitan merajut pemikirannya menjadi tulisan yang baik. Hanya dengan mengajar saja tidak ada jaminan seorang pendidik bisa menulis. Menulis membutuhkan latihan dan, seperti seorang pemula, ia pasti memulai dengan karya yang biasa-biasa saja, bahkan cenderung buruk. Namun sepanjang itu original, patut dihargai. Karya-karya original yang dialami terus-menerus lambat laun akan menemukan “pintu”-nya”, yaitu jalinan pemikiran yang berkembang. Sayangnya, tradisi menulis di kampus sangat rendah. Bahkan dosen-dosen yang menulis di surat kabar sering dicibir koleganya sebagai llmuwan Koran. Ada pandangan, lebih baik tidak menulis dari pada dipermalukan teman sendiri. Padahal dari situ, seorang ilmuwan mendapatkan latihan menulis”. (Dalam “Orang Pintar Plagiat”- Kompas Edisi Selasa, 20 April 2010).
Ungkapan
Renald Kasali itu tahun 2010, tetapi masih sesuai untuk membangkitkan spirit
menulis di kalangan dosen, guru, ustaz, ASN dan masyarakat pada umunya. Sehingga
semuanya berjiwa literate. Ada upaya untuk berbagi informasi, ilmu,
wawasan dan pengalaman berharga untuk menginspirasi kehidupan. Gayung bersambut,
saya diikutsertakan pada Program Gerakan Menulis bagi Guru dalam Rangka
Pengembangan Keprofesian Berkelanjutkan (PKB) yang diselenggarakan oleh Pusat
Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PPPPTK) Bahasa
Bekerjasama dengan Media Guru Indonesia pada tanggal 22 s.d. 24 April 2017
bertempat di PPPPTK Bahasa Kemendikbud
di Sawangan. Banyak hal yang dibahas dalam acara tersebut terutama motivasi
menulis bangkit kembali. Semua peserta mayoritas sudah memiliki tulisan bahkan
banyak yang sudah menerbitkan buku. Pengalaman luar biasa saya dapatkan,
ternyata menulis itu bukan bakat tetapi dibutuhkan pelatihan kontinu.
Tidak ada
orang yang menulis langsung bagus tulisannya tetapi ada proses yang terus
dilakukan. Umumnya orang mengatakan, saya ini sibuk sehingga tidak bisa menulis
dan tidak ada waktu untuk menulis. Kondisi seperti ini yang mematahkan
semangat untuk menulis. Much. Khoiri dalam bukunya Sapa Ora Sibuk “Menulis
dalam Kesibukan” (2016 :3) menyatakan “jangan atasnamakan kesibukan untuk tidak
menulis, kerena menulis itu panggilan yang sama wajibnya dengan membaca”.
Ungkapan ini membangkitkan saya untuk terus menulis baik di surat kabar,
majalah, esay, artikel, jurnal kampus, makalah, power point untuk
mengisi bahan pelatihan, diskusi dan seminar, termasuk menyampaikan Khutbah Jumat
dan pengajian Yasinan malam Jum'at di Kampung Kalenderwak.
Untuk melebarkan sayap dalam Safari
Literasi, bersyukur saya diberi kesempatan menjadi Nara Sumber di STAI Haji
Agus Salim Cikarang Bekasi dalam acara Seminar pada 15 Oktober 2017 dengan tema
: Literacy: Revealing a Scientific
Tradition Building a Civilization. Banyak hal yang dibahas pada acara ini,
terutama membuka wacana akademis dan sekaligus mempraktikkan membaca dan menulis.
Sumber ilmu dari membaca kemudian berupaya menuliskannya. Seorang peserta
bertanya: “Apakah saya bisa menulis, sedangkan saya belum pernah mencobanya.
Saya memberi motivasi, bahwa menulis itu adalah komunikasi dengan pikiran dan
hati kemudian dilesakkan dengan kata dan kalimat bermakna maka terwujudlah
sebuah karya. Juga, dengan menulis akan melanggengkan peradaban. Tulisan yang
digoreskan akan abadi. Bisa jadi menginspirasi dunia. Mulai lah menulis untuk mengabadikan
peradaban.
Kita lihat, Karya besar seperti Mazahibul Arbaah dengan Empat Mazhab, Buya hamka dengan Tafsir Al Azhar, M. Quraish Shihab dengan Tafsir Al Misbah dan para Mufassir lain yang membuahkan karya monumental sampai detik ini kita ambil manfaatnya. Semuanya dengan literasi yang melestarikan ilmu pengetahuan sepanjang zaman. Kesempatan lain dari Ust. Irfan Fahrizal, S.Fil.I, M.Pd.I Kepala SMPIT Insan Kamil Cikarang Utara menjadikan saya sebagai Nara Sumber dalam acara Bedah Buku pada tanggal 23 Juli 2018. Sebuah pengalaman luar biasa untuk Safari Literasi memotivasi peserta didik sebagai cikal bakal ulul albab di masa akan datang. Hasil dari acara ini terbentuk lah komunitas penulis di kalangan siswa melahirkan Buku Antologi Siswa. Kian jelas, menulis itu kewajiban untuk meningkatkan tradisi ilmiah. Paling tidak membuka wawasan kepada peserta didik untuk menjadi ilmuan harus “gila membaca”. Bahkan orang mengatakan membaca itu jendela dunia. Di tengah era digital yang menyeruak, peserta didik tetap konsisten membaca buku.
Pengalaman sangat berharga terus menghiasi
pengalaman literasi saya, dengan menjadi Narasumber sebuah acara Academic
Writing Workshop di STAI Haji Agus Salim dengan tema: Budayakan Menulis
Ilmiah Menuju Profesionalitas Intelektual di kalangan Dosen dan Mahasiswa”.
Saya diamanatkan membahas materi Literasi untuk Akademisi. Acara ini digagas oleh
Litbang STAI HAS, Daan Dini Khairunida sebagai Direkturnya disupport juga
Kaprodi Hukum Ekonomi Syariah (HES) Dadang Hermawan dan Kaprodi Pendidikan
Agama Islam (PAI) Noor Azida Batubara. Sangat bermanfaat acara ini sehingga
pada diri mahasiswa tumbuh kesadaran untuk berliterasi dan menguatkan tradisi
ilmiah di tengah akademisi. Seiring zaman internet mudah sekali mencari
informasi, mahasiswa kehilangan idea. Analisis kian tumpul karena disuguhkan
informasi yang mudah dari google. Masalah apapun bisa diakses sehingga
budaya Copy Paste merajalela di mana-mana. Para akademisi relatif enggan
untuk berkarya. Sebuah tantangan luar biasa. Karena bila hal ini menggejala
akan memberangus kreativitas dalam literasi.
Upaya Membangkitkan Tradisi Ilmiah
Saya teringat dengan sebuah statemen
yang ada di Pondok Pesantren Darussalam Subang tempat nyantri si-Bungsu
Irham Wahyu Muzakki, ada tulisan yang substansinya sebagai berikut: “Banyak
Orang Berijazah tetapi Sedikit yang Ilmiah”. Sebuah kritik pedas dilontarkan.
Mengapa tidak? Karena umumnya setelah seseorang memiliki ijazah SD/MI, SLTP,SLTA,
Strata 1, S2, bahkan S3 banyak yang berhenti untuk belajar. Sudah segan membaca
buku terlebih menulis. Mereka mengira belajar sudah selesai seiring dengan
prosesi wisuda. Hal ini cukup beralasan karena mayoritas sarjana yang sudah
selesai studi turun drastis minat
membaca dan menulisnya. Tradisi ilmiah berhenti. Padahal saat kuliah
mereka sangat produktif membuat makalah, jurnal, artikel, dan menyusun karya tulis ilmiah
lainnya. Sebuah era menuangkan dan berpetualang dalam dunia idealisme tenggelam
sudah. Yang ada hanya tinggal kenangan. Untuk membangkitkan spirit literasi dan
membangkitkan tradisi ilmiah, saya terus berupaya memotivasi diri dan
lingkungan agar proses belajar literasi terus berlanjut teruatama membaca dan
menulis. Untuk merespon hal ini, pada tanggal 16 Maret 2019 saya membuat
artikel dengan judul “Literasi Mengguncang Peradaban”. Artikel ini saya share
kepada beberapa Group WhatsApp yang konsen pada dunia literasi. Diantara
substansinya:
“Dulu, kita
terbiasa menyusun makalah diskusi saat studi di kampus. Kita kaji dengan
intens, membahas materi kuliah bersama hingga terjadi perdebatan
berdarah-darah. Kita enjoy saja bahkan terkadang kekurangan waktu untuk
mengajinya. Sangat nikmat rasanya karena menambah khazanah keilmuan. Sungguh
luar biasa karunia literasi itu. Mampu menapaki peradaban dunia, mengabadikan
ilmu sekaligus mengamalkannya. Bisa jadi menorehkan sejarah emas pada zamannya.
Kini kita hidup di era digital. Semua serba cepat, serba mudah dan sangat simple
diakses melalui internet. Akibatnya semua orang sulit berkarya karena terjebak
dengan copy paste yang memberangus kreativitas untuk berliterasi bahkan
masuk pada kubangan hoax. Musibah besar melanda negeri ini, mayotitas
rakyat kurang giat dalam iqra. Dulu zaman kuliah banyak mahasiswa bergelar
“kutu buku”, sekarang buku yang ada pada “berkutu dan di makan rayap” karena
nyaris tidak tersentuh. Bandingkan dengan mahasiswa sekarang. Semua serba
digital menggenggam gadget dan media elektronik lainnya. Jarang sekali
anak di zaman now yang familier dengan buku. Iqra mulai
ditinggalkan. Berpikir kritis menjadi relativ lemah karena jarang menggelar
kajian ilmiah. Klimaksnya tidak mau berkarya. Sehingga eksistensi akselerasi
teknologi tidak diiringi dengan kompetensi diri. Keberadaan otak belum
diimbangi dengan pengetahuan signifikan. Tugas kita bangkitkan tradisi ilmiah
tiada henti sehingga siap mencetak generasi emas 2045”.
Membangun tradisi ilmiah terus kita
lakukan dengan mengisi ruang Web.Kemenag Kabupaten Bekasi dengan menulis
Reportase Kegiatan, Esay dan Artikel yang di-link kan dengan Web.Kemenag
Provinsi Jawa Barat sehingga sebagai bahan pengetahuan insan akademis di
provinsi Jawa Barat. Tulisan yang sudah di-publish pada tahun 2019 ini
seperti Reportase tentang kegiatan lomba Pentas PAI diantaranya: Nilai Karakter
Tumbuh Melalui Pentas PAI dan artikel Profesionalisme Guru Berbasis SIAGA dan
karya lainnya. Ini satu indikator dalam upaya meningkatkan tradisi ilmiah di
kalangan guru, Kemenag dan juga stakeholders.
Pada kesempatan lain, ada kegiatan yang
sangat menantang yaitu Kegiatan Bimbingan Teknis Pelayanan Teknis SMP dalam Rangka
Bimbingan Teknis Karya Tulis Ilmiah bagi Guru SMP Kabupaten Bekasi Dinas
Pendidikan Kabupaten Bekasi Tahun 2019. Acara ini ditugaskan oleh Kasi Tentis
SMP H. Cecep Jayadi, M.Pd.I. Secara pribadi kegiatan ini relativ berat, karena saya
harus memfasilitas guru semua Mata Pelajaran di SMPN se-Kabupaten Bekasi dalam
penyusunan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Karena semuanya diniatkan untuk
belajar, dibekali pada saat saya mengikuti Bimtek Penelitian Tindakan Kepengawasan
(PTKp) pada tanggal 07-12 Januari 2019 di Balai Diklat Keagamaan (BDK) Bandung, maka semuanya bisa diselesaikan dengan penuh dinamika. Banyak materi yang
didapatkan sehingga bisa memotivasi para peserta Bimtek baik secara konseptual
maupun praktik sehingga kian semangat untuk membuat PTK. Diantara judul PTK
yang sudah diasistensi adalah: (1) Iim Kamilah (STAD Model dan Starwars
Reinforcment Skill untuk Meningkatkan Motivasi Belajar Bahasa Inggris Kelas
VIII.2 SMPN 11 Semeter 2 Tahun Pelajaran 2018-2019 Tambun Selatan Kabupaten
Bekasi, (2) Titi Widaryanti / Meningkatkan Minat Menulis Cerpen dengan Menulis
Bersama pada Siswa Kelas IX Semester Ganjil Tahun Pelajaran 2018/2019 di SMPN 1
Tambun Selatan, (3) Waris / Upaya Meningkatkan Disiplin Siswa Melalui
Pendekatan Behavior Kelas VII Semester Ganjil Tahun Pelajaran 2019/2020 di SMPN
1 Cikarang Utara, (4) Aryani / Upaya Meningkatkan Kemampuan Menulis Teks Cerita
Fantasi Melalui Media Gambar Berseri Peserta Didik Kelas VII Semester Ganjil Tahun Pelajaran
2019/2020 di SMPN 1 Pebayuran, (5) Wiji Rahayu / Peningkatan Keterampilan Menceritakan
Kembali Cerita Fabel dengan Teknik Demonstrasi Boneka Peserta Didik Kelas VII
Semester Genap Tahun Pelajaran 2018/2019 di SMPN 1 Tambun Selatan, (6) Wasto
Pujawiyatna / Peningkatan Pembelajaran Berbagai Karya Mengkritik Karya dengan
Metode Klose Kartu Indeks Peserta Didik Kelas IX Semester Ganjil SMPN 4 Setu
Tahun Pelajaran 2018/2019 dan judul karya tulis lainnya.
Beberapa upaya yang diuraikan di atas
sangat lah belum maksimal karena literasi itu tidak akan berhenti seiring
dengan dinamika peradaban terutama dalam membangun tradisi ilmiah. Sebagai Pengawas
PAI ASN Kementerian Agama, saya ingin membuka mindset bahwa membaca dan
menulis ini sangat penting karena untuk melanggengkan peradaban. Berdasarkan
latar belakang inilah saya memotivasi kepada sahabat ASN Kemenag Kabupaten
Bekasi khususnya dan stakleholders umumnya untuk berkarya dengan Buku
Antologi Kemenag tahun 2019. Dengan harapan karya sederhana ini bermanfaat.
Karena saya berprinsip bahwa karya literasi untuk amal jariyah. Bahkan dikatakan Zaenal
Aripin (Pemred Harian Radar Bekasi dalam Kata Pengantar Buku Antologi) dengan
kalimat simple bahwa “Menulis itu abadi. Penulis pasti meninggal. Tapi
tulisannya pasti kekal”. Dikutip juga dari Almarhum Prof. Dr. KH. Ali Mustofa
Yakub MA (Pendiri Pesantren Luhur Ilmu Hadits Darussunnah, Ciputat), semoga
Allah SWT merahmatinya. Beliau berwasiat kepada para santrinya “Janganlah
kalian wafat sebelum memiliki karya tulis”. Sejalan dengan Much. Khoiri (2017:
78-81 ) dalam bukunya Write or Die diantara uraiannya ada semboyan
“Menulis atau Mati”. Diantara efek dahsyat menurutnya : Pertama, semangat yang
menyala-nyala. Kedua, tidak lekas letih dalam menulis. Ketiga, lebih fokus.
Pekerjaan menulis menuntut konsentrasi dan disiplin tinggi. Keempat, lebih
cepat menulis. Speed Writing dikuasai dengan cukup lancar. Artikel
5500-6000 karakter harus tuntas maksimum satu jam. Kelima, inspirasi mudah
muncul. Keenam, produktif dan kreatif dalam menulis. Ketujuh, efek karambol
dari menulis. Semua karya bisa dinikmati masyarakat pembaca, bisa jadi mampu
menginspirasi dan sekaligus menjalani profesi tambahan sebagai writerpreneur
yakni usahawan yang bersumber dari menulis.
Sebuah motivasi luar biasa menjadi
pemicu agar menorehkan karya sebelum meninggal dunia. Karya yang sederhana ini
berharap bermanfaat bagi saya sebagai penulis, juga bagi pecinta ilmu dan
pegiat literasi dari masa ke masa sehingga NKRI siap menghadapi era industri
4.0 dan menjadi pelaku pembangunan di
Era Emas Tahun 2045 serta menjadi generasi Ulul Albab, hidup dengan
iman, ilmu dan amaliah. Amin
Artikel ini telah diterbitkan pada Buku Literasi dan
Peradaban
Editor : H. Ma’mun Zahrudin
ISBN 978-623-7253-22-8
Penerbit: Lembaga Pendidikan Sukarno Pressindo (LPSP)
Semarang 2019
Dipublish kembali pada Selasa, 09 Mei 2023 / 19 Syawal 1444
H.
Yu, kita nikmati Safari Literasi kami. Insya Allah bermanfaat bangkitkan spirit berkarya.
BalasHapusSangat penting dan perlu untuk memahami makna Iqro tidak hanya sebatas membaca, tetapi didalamnya tersirat makna menulis serta menganalisis. Hal ini perlu digaungkan secara terus menerus agar dipahami oleh halayak ramai dan memunculkan minat literasi dikalangan umat. Upaya itu secara konsisten dilakukakan oleh Bapak H. Wahyu diberbagai kesempatan serta melalui karya-karyanya. Tetap semangat pak haji. Jejak bapak sedang kami ikuti.
BalasHapusHatur nuhun Kang selalu mengapresiasi tiada henti.
Hapus