Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kami Rindu PanggilanMu, Ya Allah

 




Motivasi Ibadah Haji

Wahyudin

Pengawas PAI - Pegiat Literasi

“Setiap umat Islam pasti rindu menuju Baitullah. Melaksanakan ibadah haji di Haromain. Sebagai wujud pengabdian puncak hamba kepada Khalik. Tujuannya menggapai RidhaNya”. (Literasi Spiritual: Wahyu)

 

Saat saya menuju Kantor Kementerian Agama Kabupaten Bekasi, sangat ta'ajub. Mengapa? Karena ratusan kendaraan pribadi terhampar di lapangan luas. Ternyata, semuanya sebagai penghantar saudaranya yang akan menunaikan ibadah haji. Masya Allah, fenomena yang tidak terjadi pada ibadah lain. Betapa mereka semangat dan antusiasnya. Memberikan spirit untuk memenuhi panggilan Allah SWT, menuju kota suci Mekah dan Madinah. Sungguh luar biasa.

 

Dalam waktu yang berbeda, saya berbincang dengan calon jemaah haji yang baru mendapatkan porsi. Betapa bersemangatnya mereka, meskipun harus menunggu dengan prediksi 16 hingga 17 tahun ke depan untuk menunaikan ibadah haji. Dari dua fenomena tersebut, prinsipnya sama. Bertawakal menunggu panggilanMu ya Allah. Kalimat inilah yang mengkristal dalam hati calon jemaah haji. Itulah di antara keistimewaan ibadah haji. Bukan hanya harta dikorbankan, namun dengan lamanya durasi masa penantian tidak menjadi problem. Sekali lagi itulah hebatnya ibadah haji. Sebagaimana Allah SWT menegaskan: "Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya dari semesta alam"(QS. Ali Imran [3] : 97).

 

Energi motivasi sangat monumental, di saat seorang muslim sudah terpatri imannya, maka semuanya dikorbankan demi memenuhi panggilan Allah SWT. Bahkan, andaikan takdir merenggut nyawanya, semuanya ikhlas meninggal di tanah suci. Ali Syariati mengatakan " berhaji adalah perjalanan menuju serambi surga. Siapa yang memaknai hajinya dengan benar, maka surga adalah ganjarannya". Sebuah sikap mental yang tak ternilai harganya, sehingga ibadah haji merupakan puncak dari ibadah orang beriman. Ada pengorbanan harta, meninggalkan jabatan, dan bahkan rela mengorbankan jiwa serta raga.

 

Sebenarnya pelajaran apa yang dapat kita ambil dari perjalanan ibadah haji? Tentunya banyak sekali yang dapat kita raih.  Ibadah haji hakikatnya momentum seorang hamba menuju Allah SWT. Diawali dengan meninggalkan keluarga, harta dan jabatan ditanggalkan di tanah air. Semuanya bergerak menuju Allah SWT. Suatu sikap mental yang patut dipertahankan. Karena semua kepemilikan pada dasarnya amanah Allah SWT. Semuanya dilupakan, untuk menghadap kepada Maha Pemberi.

 

Di sisi lain, sebagai bentuk penghormatan kepada hamba. Benarkah demikian? Yah, sebagai tetamu Allah SWT tentunya sangat diistimewakan. Jangankan tamu Allah, saat bertamu kepada Presiden atau Raja pun, tentunya kita mempersiapkan secara matang. Baik pakaian yang dikenakan, atau persiapan lain yang dibutuhkan. Terlebih saat sebagai tetamu Allah, tentunya jiwa dan raga dipersembahkan. Ilmu dan seperangkat kompetensi manasik haji wajib dipersiapkan. Terutama faktor niat yang kuat tertanam dalam jiwa, untuk menunaikan kewajiban rukun Islam kelima. Tidak ada terbersit dalam hatinya ingin meraih gelar "haji" karena itu hanya julukan dari manusia. Jemaah haji sudah memiliki niat, dalam rangka memenuhi panggilan Allah SWT tentunya secara totalitas dimotivasi untuk ibadah. Hanya takwa sebagai bekal dan menjadi target utama yang akan diraihnya.

 

Hal lain, ibadah haji adalah "miniatur akhirat". Artinya, saat menunaikan ibadah haji semuanya untuk Allah SWT. Baik dzikir dalam talbiyah, manasik haji dan umroh juga rukun, wajib dan sunat haji semuanya lillah, karena Allah SWT. Tidak ada tergores dalam hatinya, ingin mengharapkan pujian dari manusia. Mengapa? Sebagaimana kalimah talbiyah yang selalu digemakan: "Aku penuhi panggilanMu ya Allah. Aku penuhi panggilanMu ya Allah, dan tiada sekutu apapun bagiMu. Sesungguhnya puji, nikmat dan kekuasaan hanya bagiNya tanpa sekutu apapun bagiMu".

 

Miftah Faridl (2007:71) dalam bukunya "Antar Aku ke Tanah Suci" mengungkapkan bahwa talbiyah merupakan sunnah muakkad, karena merupakan syiar lahiriah bagi orang yang melaksanakan haji dan umrah. Dengan talbiyah, para jemaah haji kian kuat bahwa ibadah haji itu benar-benar panggilan Allah SWT. Juga sebagai deklarasi diri, dan upaya mensterilkan diri dari pelbagai bentuk kemusyrikan. Mengapa kemusyrikan menjadi sorotan? Karena banyak sekali orang yang dalam hidupnya masih terbelenggu dengan hegemoni kekuasaan. Bahkan banyak orang yang men-tuhankan harta benda dan mengabdi pada jabatan.

 

Dengan kita menjernihkan kehidupan dari kemusyrikan, maka lahirlah nuansa tauhid yang mampu menyelamatkan manusia. Bahkan menurut Komarudin Hidayat (2008: 202) mengatakan bahwa ibadah haji mampu mengikis sikap egoistik. Di samping menetapkan niat dalam hati, rangkaian ibadah haji secara lahiriah diawali dengan menanggalkan pakaian sehari-hari. Kemudian diganti dengan pakaian ihram, yaitu kain putih yang sangat sederhana. Kondisi seperti ini, mengembalikan sikap mental tawadhu. Merasa diri kecil dibandingkan kekuasaan Allah SWT. Putih sebagai simbol kesucian diri. Awalnya manusia fitrah, karena tereduksi oleh dosa akhirnya banyak manusia tertutupi dosa. Putih juga sebagai simbol, suatu saat nanti kita semua akan dibungkus kain kafan. Pakaian terakhir yang dikenakan oleh semua manusia. Saat kembali ke alam akhirat.

 

Sebuah nilai kesederhanaan ini melekat pada semua jemaah haji. Mengapa? Karena saat prosesi ibadah haji dilaksanakan, semuanya bermuara pada cinta Allah SWT. Segala kepemilikan ditinggalkan. Lahir dan batin secara totalitas diserahkan kepada Allah SWT. Karenanya sangat pantas meraih surga. Rasulullah SAW bersabda : "Haji yang mabrur tiada balasannya yang tepat kecuali surga"(HR. Bukhari Muslim).

 

Semua jemaah haji, telah teruji secara fisik dan keilmuan serta gerakan spiritualnya. Layaklah baginya meraih surga. Karenanya, setiap umat Islam pasti merindukan kembali ke tanah suci Mekah dan Madinah untuk memenuhi panggilan Allah SWT. Semuanya selalu berujar : Kami rindu panggilanMu, Ya Allah. Bilakah Anda menunaikan ibadah haji? Yu, niatkan bagi Anda yang belum menunaikannya. Jangan menunggu hari esok. Selagi sehat dan diberi potensi oleh Allah SWT, bersegeralah menunaikannya.
Wallahu 'Alam.

Cikarang, 22 Agustus 2017

Saat Rindu ke Baitullah

Artikel ini telah dipublish melalui Buku Literasi Spiritual (2020).

Dipublish kembali pada Sabtu, 27 Mei 2023 / 08 Zulqo’dah 1444 H Pkl. 20.20 Wib.

1 komentar untuk "Kami Rindu PanggilanMu, Ya Allah"

  1. Selamat meraih Haji Mabrur wahai Dhuyufurrohman. Selamat menguatkan niat para sahabat menuju Baitullah. Sehat dan berkah selalu.

    BalasHapus