Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Haji Miniatur Kehidupan

 


Motivasi Haji

Wahyudin

Penulis Buku dan Pegiat Literasi

“Saat berhaji, setiap Jemaah berjumpa dengan ilahi. Pertemuan hakiki, puncaknya menyatu dalam ibadah yang selalu dirindukan. Reward surga bagi Jemaah haji yang mabrur sebagai penguat ibadah.”

 (Literasi Spiritual: Wahyu)

 

Suatu hari "Ema" (Ibu saya biasa dipanggil) mengabarkan bahwa istri tetangga kampung yang sedang ibadah haji meninggal dunia di Mekah. Innalillahi Wa Inna Ilaihi Rooji’uun. Ternyata taqdir Allah, sudah ditetapkan kepada setiap orang. Masalah meninggal, urusan Allah. Di tanah suci meninggal, ya, di tanah air juga meninggal. Semua sudah ada takdirnya. Demikian obrolan ringan dengan Ema saya. Saya meng-iakan dengan substansi obrolan, mensikapi kabar meninggalnya seorang jemaah haji.

 

Saya teringat dengan taushiyah Ust. Arifin Ilham. Beliau menyatakan: "Seorang mukmin, hidup untuk yang Maha Hidup.  Hidupnya seorang mukmin sangat indah, karena kehidupannya dipersembahkan untuk ibadah. Dia tidak takut mati. Karena kematian itu awal dari kehidupan abadi. Bahkan kematian itu sebagai starting point berjumpa dengan Tuhannya.

 

Mentalitas tersebut sejatinya dimiliki semua jemaah haji. Hidup dan mati totalitas untuk Allah SWT. Bahkan seorang bijak berkata: "Biarkanlah orang tertawa ketika engkau memulai kehidupan ini dengan jeritan tangis, begitu engkau keluar dari dalam rahim ibumu. Tetapi buatlah mereka menangis, sedangkan engkau tertawa ketika engkau mengakhiri hidupmu di dunia ini tatkala menjemputmu".

 

Jemaah haji di saat berangkat dari rumah, diiringi doa, dzikir dan talbiyah sangat menggetarkan jiwa. Mendekatkan hati kepada yang Maha Menentukan. Tunduk pasrah dan konsisten dalam upaya memenuhi panggilan Allah SWT. Dengan tekad yang bulat, semua kepemilikan ditinggalkan dengan ikhlas. Sudah diyakini, semuanya titipan Allah SWT. Kian jelas, semua jemaah haji berorientasi fokus kehidupan ukhrawi. Maka perjalanan haji, prinsipnya menuju akhirat.

 

Jutaan jemaah haji mempunyai motivasi sama mendekat kepada Allah SWT untuk meraih haji mabrur. Diawali rasa cinta kepada Allah SWT, tertanamlah   rasa mahabbah kepada sesama. Imam Ali berujar :"Manusia di dunia ini terbagi  menjadi dua. Mereka yang datang ke pasar dunia, lalu menjual dirinya sehingga menjadi budak, dan mereka yang menjadikan merdeka. Manusia yang memilih cinta kepadaNya, adalah manusia merdeka. Orang-orang yang mencintai Tuhan tidak bisa didikte, apalagi dibeli oleh harta dan kekuasaan". Golongan ke dua inilah yang memiliki tujuan hidup jelas dalam kerangka ibadah kepada Allah SWT. Semua gerak langkah kita tidak terlepas dari kontrol Allah SWT. Itulah makna ihsan. Semua dalam genggaman Allah SWT.

 

Jemaah haji selalu husnudzon kepada Allah SWT. Meskipun kondisi sangat sulit. Semua antri dan harus disiplin. Namun dengan dimotivasi ikhlas berlangsung sangat indah. Terlebih saat memasuki waktu haji. Jutaan manusia bergerak menuju Arafah. Suatu perhelatan akbar, secara kolosal berkumpul menghadap Allah SWT langsung bersatu seakan berada di Padang Mahsyar. Hanya doa, munajat dan taqarrub ilallah mempererat ukhuwwah dalam bingkai tauhid. Komarudin Hidayat menyebutnya dengan istilah "transendensi makna hidup" (2008: h. 203). Begitu siap dengan pakaian ihram, jemaah haji  selalu membaca talbiyah, yaitu pernyataan kehadiran memenuhi panggilan Allah. Suasana batin hendaknya hanya diisi dengan kesadaran " aku-Engkau", dan segala urusan duniawi ditinggalkan agar bisa memasuki orbit kesadaran secara intens. Pikiran, perasaan, ucapan, dan bahkan segala tindakan kini hanya diarahkan untuk mendekati Allah SWT.

 

Di Padang Arafah, semua jemaah haji cooling down menyadari semuanya akan memasuki kehidupan akhirat. Wukuf di Arafah adalah rukun haji yang wajib dilaksanakan oleh setiap jemaah. Tidak berhaji apabila tidak wukuf. Wukuf di Arafah, proses perjumpaan hamba kepada Rabbul Izzati.
Sesuai pendapat M. Quraish Shihab (2008: h. 176) bahwa ketika engkau singgah di Arafah, apakah engkau telah singgah sebentar dalam musyahadah_(menyaksikan dengan hati) kepada Tuhanmu? Kalau tidak, maka engkau belum wukuf di Arafah. Saat Wukuf adalah saat musyahadah. Ada dua macam musyahadah, yaitu kepercayaan yang sempurna dan kehangatan cinta membara. Dengan keterbakaran cinta, orang akan mengalami fana (lebur dirinya dan hilang sama sekali) sehingga tidak ada yang disaksikannya kecuali siapa yang dicintainya. Ia akan iri kepada sesuatu, walaupun kepada matanya sendiri. "Sungguh aku iri kepada mataku sendiri, dan ku-tutup mataku bila aku melihat-Mu, kata Al Junaidi ketika berdialog dengan Tuhan.

 

Tiga serangkaian ibadah secara estafet yaitu Wukuf di Arafah berarti pengetahuan, Masy'ar artinya kesadaran dan Mina artinya kecintaan. Tiga ranah ibadah ini totalitas untuk Allah SWT. Ibadah inilah puncak dari pelaksanaan ibadah haji yang harus diikuti dengan ikhlas menuju mardhotillah.

 

Saat saya diberikan amanah sebagai Petugas Haji (TPHI) Tahun 2012, ada pelajaran spiritual penuh hikmah. Selesai bermalam di Muzdalifah, tentunya kondisi sangat lelah. Sewaktu bergerak menuju Mina Subhanallah, lebih melelahkan lagi. Semua jemaah haji istirahat sejenak di tenda Mina, dan menikmati konsumsi yang telah disiapkan. Saya langsung menuju Panitia Haji di Mina untuk laporan kondisi jemaah. Di tengah perjalanan hati saya berkata:" Ya Allah, capek juga yah menjadi petugas haji. Semua jemaah sedang resting  menikmati santapan jasmani dan mulai berdzikir serta berdoa, sedangkan saya harus laporan. Subhanallah, apa yang terjadi? Saat itu saya diuji oleh Allah SWT. Sulit  mencari tenda di sekitar Mina. Saya istighfar, mohon ampun kepada Allah SWT, dan Allah langsung menjawab dengan membuka tabir jalan mempertemukan saya dengan seorang jemaah dalam satu Kloter. Subhanallah walhamdulillah. Ternyata, kita tidak boleh berkeluh kesah dari rahmat Allah SWT. Kendati hanya terbersit di dalam hati. Seakan mengesampingkan kekuatan Allah SWT. Idealnya, semua kehidupan kita diserahkan kepada Allah SWT, karena Allah Pemilik kehidupan manusia.

 

Peristiwa lain, saat saya akan Thawaq Qudum tahun 2011 (Haji Ifrad) saya berbisik kepada istri saya: De, ternyata thawaf itu lengang yah, tidak seperti melihat saat di Televisi. Subhanallah, pada saat itu langsung berjejal dan penuh sesak sangat padat bersama-sama untuk Thawaf. Saya ingat, bahwa ternyata logika kita tidak selalu harus dikedepankan. Idealnya semua dikembalikan kepada Allah SWT, dengan melantunkan "kalimatun thoyyibah". Saya yakin Anda yang sudah menunaikan ibadah haji dan umroh bahkan sering kali, tentunya memiliki sejuta cerita. Kisah indahnya ibadah haji, juga pelajaran tentang sisi lemahnya manusia. Semuanya dapat diambil hikmah, ibadah haji esensinya menuju puncak bersatunya diri kepada Allah SWT.

 

Saat prosesi ibadah haji, hilangkan semua kooptasi duniawi, sehingga kenikmatan musyahadah, proses mengundang Allah SWT kepada diri kita, sehingga kita akan menyaksikannya. Sangat yakin, sepak terjang manusia dalam skenario Allah SWT secara totalitas dalam naungan taqdirNya.

Semoga saja ibadah haji ini, kita jadikan sebagai media untuk membuka tabir antara makhluk dengan Khalik. Akhirnya benar-benar merasakan nikmatnya ibadah di kota Mekah dan Madinah sebagai bukti bahwa segala aktivitas kita dalam berhaji seakan "miniatur kehidupan". Semua peristiwa, langsung dirasakan karena secara simultan direspon Allah SWT dan harapannya tetap ingin menjadi haji mabrur. Hanya Ridha Allah SWT menjadi tumpuan harapan kita. Wallahu ‘Alam.

 

Artikel ini telah dipublish dalam Buku Literasi Spiritual (2020).

Dipublish Kembali pada Rabu, 31 Mei 2023 M / 11 Dzulqa’dah 1444 H Pkl. 04.20 Wib.

1 komentar untuk "Haji Miniatur Kehidupan"