Sudahkah Kita Mengenal Diri?
Literasi
Spiritual
Wahyudin,
NS.
Praktisi
Pendidikan Islam dan Dakwah
Penulis 3 Buku Tunggal dan Puluhan Buku Antologi bersama Pegiat Literasi
Sangat berat memang introspeksi dan menilai diri sendiri.
Terkadang kita mampu memberi input kepada orang lain, tetapi untuk
sendiri sangat berat laksana memikul beban satu kuintal. Pepatah klasik
berujar, “semut di seberang lautan
tampak kelihatan namun gajah di pelupuk mata tiada kelihatan”. Bukankah
mayoritas manusia seperti itu? Bisa kita jawab masing-masing.
Bahkan banyak orang yang katanya “pandai” sangat sulit diberi masukan
konstruktif. Seakan dia serba tahu, serba bisa dan serba lainnya. Di sisi
lain banyak orang memiliki kedudukan tinggi, nyaris tidak terusik kondisi
kehidupnnya. Dia berada di mercusuar dan “nangkring” di menara gading. Seakan
mereka paling benar, paling hebat dan tidak tersentuh nasihat dari pihak mana
pun. Lebih parah lagi akan terjangkit penyakit kultus individu. Orang
yang dikultuskan dalam kehidupannya sangat bebas, anti kritik bahkan terjebak
membenarkan nilai-nilai yang salah. Orang seperti ini selalu berupaya
mempertahankan keinginannya, bahkan tak segan melancarkan pembunuhan karakter
kepada pihak lain.
Berdasarkan uraian diatas jelaslah, sikap tersebut termasuk orang
yang tidak mengenal diri dan Tuhannya. Sebagaimana ada qaul mengatakan: “Barang siapa yang mengenal
dirinya maka ia akan mengenal Tuhannya”. Jelaslah bahwa setiap manusia harus
memahami dirinya sendiri. Berasal dari apa dia diciptakan dan akan ke mana
akhir dari kehidupannya. Singkatnya setiap manusia harus memahami hakikat
manusia itu sendiri. Allah SWT berfirman:
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat: “Sesungguhnya
Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Selanjutnya Aku sempurnakan
penciptaannya dan kemudian Aku meniupkan roh kepada ciptaan-Ku dan seraya berfirman
kepadanya: tunduklah kamu dan kemudian kepadanya kalian bersujud” (QS. Shad: [38:]
71-72).
Berdasarkan ayat di atas dapat dijelaskan bahwa untuk mengenal diri
sendiri harus kembali kepada kesejatian diri. Manusia diciptakan Allah SWT dari
tanah kemudian ditiupkan roh, sehingga setiap manusia menikmati hidup dan
kehidupan ini. Klimaks dari proses pencipataan itu agar manusia tunduk bersujud kapada Allah SWT.
Masihkah ada rasa sombong menghantui diri kita? Idealnya dengan mengingat
proses penciptaan manusia, sejatinya harus menyadari bahwa semua kepemilikan,
jabatan bahkan nyawa ada dalam genggaman Allah SWT.
Untuk lebih mengenal diri sebagai manusia, Agama Islam memberi petunjuk dengan beberapa formula:
Pertama, kembali kepada identitas Muslim. Ciri muslim sejati selalu menampilkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan. Apa pun profesi yang kita sandang, tetap saja harus bermuara pada nilai Islam. Menjadi ekonom yang Islami, sebagai politisi yang Islami dan profesi apa pun goal nya untuk kepentingan agama. Biasanya di saat memasuki wilayah agama, semua orang timbul ruhul jihadnya. Karena agama itu masalah hak asasi yang paling asasi. Bila kesucian agamanya diganggu, pasti akan membela hingga titik darah terakhir. Orang seperti ini berarti telah mengenal jiwanya, kriterianya selalu berorientasi kepada kebenaran.
Kedua, konsisten dengan nilai kebenaran universal. Pada dasarnya
semua manusia cenderung kepada kebenaran. Nilai-nilai kebenaran inilah menjadi navigator
kehidupan manusia. Diatara sikap yang harus dikembangkan adalah merasa
dikontrol oleh Allah SWT di mana pun dan dalam kondisi apa pun. Maka
memancarlah sikap kasih sayang, keadilan, kejujuran dan sikap kebenaran
universal lainnya.
Menelisik konteks sosial sekarang, terjadi carut marut tatanan
kehidupan. Kebenaran sulit ditegakkan dan kesalahan pun terkadang tidak mudah
untuk diungkap. Diantara penyebabnya banyak manusia sudah ke luar dari koridor
fitrah. Mereka mengikuti hawa nafsu dan kepentingan pragmatis. Mengutamakan
golongan dan sektarianisme, sehingga harmonisasi kehidupan sulit untuk
dinikmati.
Ketiga, menyadari bahwa manusia sebagai khalifah, diberi potensi
untuk memanage alam ini sesuai dengan kemampuan yang diberikan Allah
SWT. Esensi akhirnya tetap saja wajib tunduk kepada Al Kkhaliq baik
dalam aktifitas hubungan kepada Allah SWT. maupun sebagai makhluk sosial.
Dengan kembali pada nilai-nilai Islam, mengikuti fitrah manusia dan
menyadari sebagai khalifatu fil-ardh, maka setiap manusia akan mampu
mengenal diri sehingga saat kembali kepada Rabbul Izzati akan menuju kepada
kesucian diri dipayungi Tauhid yang hakiki. Bilakah kita mengenal diri?
Tentunya mulai saat ini hingga diujung waktu nanti. Waallahu ‘Alam.
Artikel
ini telah diterbitkan pada Buku Literasi Spiritual: Mengungkap Metakognitif
di Universitas Kehidupan (Juli 2020)
ISBN
978-623-272-448-8
Diterbitkan
oleh : MediaGuru Surabaya
Digubah
dan Dipublish pada Kamis, 13 April 2023 / 22 Ramadan 1444 H Pkl. 06.31 Wib.
Semoga Allah mudahkan dalam berkarya saat dakwah bil-qolam. Selamat menikmati karya kecil kami. Insya Allah manfaat untuk Generasi Emas 2045.
BalasHapus