Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Masih Perlukah Kita Beragama?

 

 



“Idealnya agama selalu hadir dalam relung kehidupan. Sehingga eksistensi manusia  dalam kontrol dan bimbingan Allah SWT. Saat itulah manusia konsisten dalam beragama. Agama menjadi komando kehidupan”.

 

 

Penguatan Literasi Spiritual

Wahyudin, NS.

Praktisi Pendidikan Islam dan Dakwah

 

Saat pemimpin dan politisi agamanya kuat, pasti negara aman dan sejahtera. Tentunya diiringi oleh masyarakat yang kesalehan sosialnya benar-benar nampak. Kehidupan bergulir secara damai gemah ripah repeh rapih. Apabila pemimpin dan politisi melepaskan agama, maka kehidupannya akan galau, saling gasak, gesek dan gosok bahkan akan terjadi menggunting dalam lipatan. Mereka berprinsip, tidak ada teman dan musuh abadi yang abadi hanyalah kepentingan pragmatis. Terjadi dis-harmonisasi bahkan bisa jadi dis-integrasi bangsa. Jadi, antara pemimpin dengan yang dipimpinnya harus memiliki kesamaan langkah untuk menuju kebaikan bersama.

 

Apakah agama dan politik harus dipisahkan secara jelas? Atau nilai-nilai agama harus mewarnai tatanan kehidupan politik? Permasalahan ini memang tidak akan tuntas bila dijadikan wacana. Pasti akan terjadi pro dan kontra yang tak berujung. Dulu pernah heboh dengan pembahasan: agama terpisah dari politik atau terintegrasi? Bukankah Rasulullah SAW seorang pemimpin agamis sangat taat kepada Allah SWT bahkan beliau mendapat garansi maksum. Bukankah Rasululllah sendiri seorang politisi ulung yang ahli strategi perang? Dan bukankah Rasulullah seorang ekonom sukses membawa perekonomian stabil pada saat itu? Secara historis terbukti, Rasulullah SAW menyeimbangkan hubungan vertikal dan horizontal. Perilaku Rasulullah lah yang wajib kita jadikan figur sentral pada setiap lini kehidupan.

 

Ternyata, agama tetap wajib kita jadikan panglima. Agama tetap memayungi semua tatatan kehidupan baik aspek politik, sosial, ekonomi dan budaya wajib dibingkai dengan nilai-nilai spiritualitas. Dalam konteks kehidupan sekarang, terkadang banyak orang lupa di saat berpolitik, berekonomi dan berbudaya tidak lagi membawa ajaran agama, karena mereka berasumsi terlalu banyak larangan dan menjadikan serba mentok dengan ajaran agama.

 

Komarudin Hidayat (2002: 97) mengungkapkan, banyak orang modern berprinsip, bahwa dunia materi dan non-materi dipahami secara terpisah, sehingga masyarakat modern kian otonom, tidak lagi memerlukan intervensi Tuhan dalam mencari solusi kehidupan. Manusia modern kian yakin dan mengucapkan “ selamat tinggal kepada Tuhan”.  Seakan  semua  perilaku  manusia terlepas dari tangan Tuhan. Akhirat ya akahirat, dunia ya dunia. Selalu dipisahkan dan dibenturkan dua hal yang kontradiktif.

Bersamaan dengan ditempatkannya manusia sebagai “pusat dunia” dan ukuran keunggulan mereka memiliki kekuatan logika dan rasionalitas. Agama yang mendengungkan ajaran-ajaran ir-rasionalitas dengan sendirinya dipandang sebagai sisa-sisa dari primitive culture (budaya primitif), sangat dahsyat bukan?

 

Sejak kita belajar di Sekolah Dasar dulu, Negara kita berazaskan Pancasila yang sila pertamanya Ketuhanan yang Maha Esa. Idealnya, saat bermasyarakat secara totalitas dibingkai dengan Ketuhanan yang Maha Esa. Bahkan sejatinya, semua sila dalam Pancasila diinternalisasi dengan nilai-nilai ketuhanan. Indah bukan? Seperti sila Persatuan Indonesia berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa dan seterusnya, sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia dibingkai dengan nilai-nilai agama, demikian seterusnya.

 

Bahkan seorang atheis pun, di saat berlayar di lautan lepas kemudian terjadi badai menerjang dan angin kencang menerpa, dalam hatinya berharap semoga yang di atas sana menolong dan menyelamatkan kita. Ternyata, yang nota bene anti Tuhan saja tetap ber-Tuhan dan ingin beragama, karena mereka memiliki hati nurani. Terlebih kita insan beragama dan bertauhid. Apakah kita rela keluar dari agama dan ikhlas menjauh dari agama? Tentunya kita ingin selalu memelihara agama hingga di penghujung waktu. Agama menunjukkan jalan yang lurus, sebagaimana diutarakan di dalam Al-Qur’an: “Sesungguhnya Allah, Tuhanku dan Tuhanmu, karena itu sembahlah Dia. Inilah jalan yang lurus”. (QS. Ali Imran [3] : 51).

 

Semoga saja uraian ini sedikit mencerahkan saya dan Anda, bahwa agama tetap wajib mewarnai kehidupan kita tentunya sesuai kapasitas kita masing-masing. Kita semua tetap membutuhkan agama. Mari beragama secara benar untuk menggapai kehidupan abadi di alam trasendental nanti. Wallahu ‘Alam.

 

Artikel ini telah diterbitkan pada Buku Literasi Spiritual: Mengungkap Metakognitif di Universitas Kehidupan  (Juli 2020)

ISBN 978-623-272-448-8

Diterbitkan oleh : MediaGuru Surabaya

Digubah dan Dipublish kembali pada Ahad, 16 April 2023 / 25 Ramadan 1444 H Pkl. 09.57 Wib.

Untuk pengembangan literasi dan memperkaya referensi milikilah buku kami:

Jejak Mualaf Literasi (2019). Literasi Spiritual 2020). Khotbah Berbasis Literasi Spiritual (2021)

 

 

 

 

           

 

3 komentar untuk "Masih Perlukah Kita Beragama?"

  1. Yu, kita nikmati artikel hari ini pada momen ke 25 Ramadan 1444 H.

    BalasHapus
  2. Dengan seringnya membaca, pasti ada yang tertinggal dalam memori. Tinggal kita memilih bacaan mana yang akan dinikmati. Tulisan ini bagai hidangan siap saji yang dapat dinikmati kapanpun dan dimanapun berada.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Respon luar biasa, bangkitkan spirit berlterasi untuk menyajikan karya bermakna untuk keabadian.

      Hapus