Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ketika Kausalitas Berbicara

 










Penguatan Literasi Spiritual

Wahyudin, NS.

Praktisi Pendidikan Islam dan Dakwah

 

Masih ingatkah anda tentang hukum kausalitas? Tentunya kita pasti memahami terminologi populer tersebut. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia hukum kausalitas adalah hukum sebab akibat artinya setiap ada sebab pasti ada akibat. Apabila berbuat baik, maka akan berdampak baik pula  dan sebaliknya jika berbuat buruk  akan kembali kepada yang melakukannya.

 

Sangat menarik jika kita kaji ulang bahwa manusia pasti ingin mengukir sejarah kebaikan di mana pun ia berada. Bahkan setiap orang menginginkan karya, karsa dan amaliahnya ditulis dengan tinta emas. Sesuai peribahasa menyatakan, “Harimau mati meninggalkan belang,  manusia mati meninggalkan nama.”. Ungkapan ini sangat menggugah agar setiap individu menggerakkan dirinya, keluarga dan masyarakat untuk berbuat kebaikan secara dinamis. Idealnya kian hari semakin bertambah kebaikan. Ketika seseorang napak tilas atsar kebaikannya tampak jelas gaungnya di seantero negeri, bahkan mengakar di dunia global.

 

Umumnya orang sering lupa, semua perbuatannya akan diminta pertanggungjawaban. Jangankan hal  yang kecil yang besar pun terkadang dilupakan. Lebih ironis lagi, ketika seseorang berbuat jahat dan cenderung destruktif, bersikeras menutupi bahkan mengelabui publik. Seakan-akan di depan umum mereka paling bijak dan paling shaleh, namun sebenarnya perbuatannya laksana seorang hipokrit.

 

Ada suatu kisah  terjadi pada zaman Rasulullah SAW, suatu saat Abu Jahal dan Abu Lahab ingin membunuh Nabi dengan membuat lubang. Persekongkolan ini tujuannya mencelakakan Rasulullah SAW. Namun atas ijin Allah SWT, Rasulullah diselamatkan. Betapa kecewanya Abu Jahal dan Abu Lahab sampai dia lupa, akhirnya terperosok ke dalam lubang tersebut. Apa yang dilakukan Rasulullah yang mulia? Dengan ikhlas beliau menolong dengan sorbannya. Masya Allah, sangat mulia akhlak Rasulullah, beliau tetap berbuat baik kepada orang yang berupaya ingin membunuhnya. Perilaku kedua paman Rasulullah tersebut, identik dengan pepatah bahasa sunda: tamiang meulit kabitis, artinya senjata makan tuan. Ada keinginan mencelakakan orang lain, namun kejahatannya kembali kepada dirinya sendiri.

 

Agama Islam mengajarkan kepada umatnya agar selalu menorehkan kebaikan kepada setiap orang. Pejabat atau pemimpin publik dari presiden, gubernur, bupati/wali kota hingga ke tingkat RT dan pemimpin keluarga harus mempunyai niat untuk mendiseminasi energi positif kepada yang dipimpinnya. Kenangan kebaikan yang tertanam pada kehidupan masyarakat itulah yang menjadi goresan kemaslahatan yang akan abadi sepanjang masa.

 

Bukankah segala perbuatan itu nanti akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah SWT? Pertanyaan ini patut kita reungkan dari lubuk hati yang paling dalam. Sebagaimana Allah SWT jelaskan, segala apa yang menjadi perbuatan, perkataan dan aktivitas kita hidup di dunia akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT (Lihat QS. Yasin: 36: 65).

 

Makna ayat di atas mengisyaratkan kepada kita bahwa apa pun yang kita perbuat pasti akan berlaku hukum sebab akibat. Sebagai tamsil, ketika tangan ini dimanfaatkan untuk menolong orang yang membutuhkan maka Allah akan membalas dengan kebaikan. Jika kaki ini setiap saat digunakan melangkah untuk berbuat baik, reward-nya akan didapatkan sebuah nilai kebaikan.

 

Terlebih sebagai pejabat publik di saat tangan, kaki, mulut dan anggota badan lainnya digerakkan untuk mengubah kebijakan yang mensejahterakan dan substansinya untuk hal yang bermanfaat, maka produk kebijakan itu akan dinilai sebagai amal ibadah. Sungguh luar biasa keadilan Allah SWT. Siapa yang menanam bibit unggul, dialah yang akan menuai hasilnya. Saat itulah tangan dan kekuatan akan berbicara. Semua perbuatan manusia pasti akan ada konsekwensinya bukan hanya di dunia namun di akhirat kelak.

 

Mari kita move on  melaksanakan kebajikan, dinamis mendulang keutamaan Allah SWT,  kemaslahan umat akan didapatkan. Karya besar yang kita ukir hari ini, akan dipetik manfaatnya untuk generasi berikutnya. Ingatlah hukum kausalitas tetap berlaku.  Insya Allah, negara kita akan menjadi negara baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Wallahu ‘Alam.  

 

Artikel ini telah diterbitkan pada Buku Literasi Spiritual: Mengungkap Metakognitif di Universitas Kehidupan  (Juli 2020)

ISBN 978-623-272-448-8

Diterbitkan oleh : Pustaka MediaGuru Surabaya

Digubah Kembali Rabu, 12 April 2023 / 21 Ramadan 1444 H Pkl. 05.20 Wib.

3 komentar untuk "Ketika Kausalitas Berbicara"