Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Saat “Iri” Kepada Santri

 


Literasi Islami

Wahyudin

Penulis Tiga Buku Tunggal dan Puluhan Buku Antologi

Kolaborasi dengan Penggiat Literasi

           

Sering terpikirkan, andai dahulu Saya sebagai Santri mungkin sekarang menjadi ilmuan. Minimal memahami benar ilmu agama. Piawai membaca kitab kuning dan mampu mengkaji ilmu agama secara komprehensif. Tentunya diimbangi dengan ilmu umum dan juga Bahasa Inggris dan Bahasa Arab, yang notabene sebagai bahasa dunia dan sebagai koridor mengungkap ilmu pengetahuan. Yah, itulah realitas kehidupan tidak mungkin bisa diputar kembali. Namun, seperti pepatah mengingatkan: “tidak ada kata terlambat untuk berbuat baik”. Begitu juga dengan menuntut ilmu. Bukankah menunttut ilmu itu sejak buaian hingga ke liang lahat? Sejatinya, demikian idealnya. Kita semua harus memiliki mindset dimaksud.

 

Sudah lama Saya mengamati kehidupan santri di sebuah pondok pesantren. Paling tidak sejak 2008-2023 mendampingi putra-putri saya nyantri di PP Daar El Qolam Tangerang Banten dan PP Darussalam Subang Jawa Barat. Tidak terasa selama 15 tahun. Terus terang saya sangat “iri” dengan pola kehidupan mereka. Mengapa demikian? Karena kehidupan para santri benar-benar teratur. Ibadah tepat waktu. Shalat lima waktu selalu berjemaah, bahkan shalat tahajud tidak ketinggalan. Juga budaya “literasi reliji” sangat kental. Dari membaca Al-qur’an, menerjemahkannya hingga mempelajari tafsirnya. Berdzikir secara individual dan kolosal menggema setiap waktu. Terlepas para santri apakah mereka “takut” dengan aturan pesantren, atau memang sudah timbul kesadaran dari hati sanubari. Itulah yang saya lihat dalam realitas kehidupannya. Semuanya sudah menjadi habitual keseharian. Anda pun “iri” bukan? Iri yang diperbolehkan, untuk motivasi diri dalam beramal dan peningkatan kualitas kebaikan secara universal.

 

Bukankah kita semua disajikan Allah SWT diberikan waktu sama, 24 jam sehari semalam? Namun mengapa para santri sangat padat dalam mengisi waktu untuk ibadah? Mereka selalu teringat dengan sebuah mahfudzat “waktu bagaikan pedang”. Waktu yang lalu tidak akan terulang kembali. Sangat tajam dan cepat meninggalkan kita semua. Apakah waktu kita selalu terisi untuk kebaikan atau keburukan? Apabila terus menabung kebaikan, maka kita termasuk insan  beruntung. Tetapi sebaliknya, apabila terisi untuk keburukan maka termasuk orang merugi. Bahkan waktu akan menggerus kehidupan kita semua. Di sinilah substanti manajemen waktu sangat penting dipedomani. Untuk memelihara konsistensi memanaj waktu dengan baik, paling tidak kita harus memiliki beberapa strategi:

 

Pertama, mempunyai niat yang ikhlas dalam beramal. Berdasarkan falsafah hidup santri yang termasuk Panca Jiwa diantaranya ikhlas. Ikhlas berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) artinya bersih hati, tulus hati. Secara totalitas didorong dari hati yang paling dalam. Dari hati inilah, termotivasi niat yang kuat untuk melaksanakan kebaikan.

Coba Anda bayangkan kehidupan para santri, setiap saat jauh dari orang tua dan keluarga. Sebagai orang tua tentunya “tidak tega” melihat kondisi kehidupannya. Semuanya serba antri dan relatif terbatas untuk disiplin diri. Namun karena dimotivasi ikhlas dan tawakal, semuanya berlangsung indah. Alhamdulillah, mereka mampu menapaki kehidupan di pesantren dengan spirit yang membara. Sering Saya melihat, banyak santri yang menangis dan bersedih karena jauh dari keluarga. Namun kita harus tega, karena future oriented, melihat masa depan. Lebih baik kita melihat anak menangis hari ini karena berpayah-payah untuk belajar. Berlelah-lelah membaca, men-tadarus Al-Qur’an dan mendalami pelajaran. Tidak sedikit mereka tertidur di masjid atau di aula karena kelelahan belajar. Tetapi, lebih dahsyat apabila kita melihat di masa akan datang orang tua menangis melihat anak dan generasi tidak shalat, tidak bisa mengaji Al-Qur’an dan mereka memiliki akhlak madzmumah. Selalu membuat orang tua bersedih. Naudzubillah. Disinilah letaknya energi ikhlas. Apakah Anda sudah tertancap nilai keihlasan dalam kehidupan? Tentunya bisa kita jawab masing-masing. Ini semua bisa kita ambil pelajaran berharga dalam mengarungi kehidupan yang fana. Kehidupan santri sangat pahit, insya Allah buah manis akan dipetik di masa yang akan datang.

 

Kedua, menyadari bahwa hidup hanya untuk ibadah. Nikmatnya kehidupan, ternyata apabila semua aktivitas berorientasi untuk ibadah. Para santri sangat elegan kehidupannya. Dua puluh empat jam  sehari semalam semuanya diisi untuk ibadah. Kita pun idealnya sama. Bagi Anda yang diamanatkan sebagai pemimpin, jadikanlah kepemimpianan itu sebagai khadimul ummah sebagai pelayan masyarakat. Sebuah peluang emas untuk mengabdi. Jelasnya, apabila pemimpin selalu melayani masyarakat, Insya Allah akan dicatat sebagai amal ibadah. Bisa jadi, pemimpin seperti ini akan dikenang sepanjang masa, karena mengukir kebaikan terhadap yang dipimpinnya. Setiap saat selalu menunjukkan kepada kebaikan. Seperti disinyalir Rasulullah SAW dalam haditsnya: “Siapa orang yang menunjukkan kebaikan, maka baginya pahala seperti orang yang mengerjakannya. Dan barang siapa yang menunjukkan keburukan, baginya sama seperti orang yang melakukannya”. Sangat logis dan benar adanya hukum Islam tersebut. Hukum kausalitas benar-benar diberlakukan. Semuanya sangat membahagiakan apabila kita memegang prinsip tersebut. Apakah Anda sudah menjadikan ibadah sebagai prinsip hidup? Tentunya ya. Dua hal inilah yang membuat saya “iri” dengan kehidupan para santri. Semoga saja, kehidupan para santri yang berada di pesantren, mampu mewarnai pada kehidupan nyata. Terutama mereka mampu mempraktikan tradisi ibadah di pesantren dalam kehidupan di masyarakat. Bukankah di hari yang akan datang, para santri akan memegang tongkat estafeta kepemimpinan? Kita tunggu kiprah mereka di Universitas kehidupan yang riil. Wallau ‘Alam.

 

Artikel ini telah diterbitkan pada Buku Literasi Spiritual

ISBN 878-623-272-448-8

Penerbit MediaGuru

Surabaya

Cetakan Pertama, Juli 2020

Digubah kembali pada Jum'at 31 Maret 2023 / 09 Ramadan 1444 H Pkl. 04.20 Wib.

 

2 komentar untuk "Saat “Iri” Kepada Santri"