Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mahalnya Hidayah : Upaya Mempertahankan dalam Kehidupan

 


Literasi Alqur’an

Wahyudin

Praktisi Pendidikan Islam dan Dakwah

 

 

“Hidayah itu hak prerogatif Allah SWT. Tidak ada manusia yang mampu memberikan hidayah. Karenanya, peliharalah hidayah. Hingga kembali kepada Rabbul Izzati yang mengaruniakan hidayah.”

 

Saat saya tadarus Alquran, terhenti pada ayat ke 56 surat Al-qashas tentang hidayah. Mengapa demikian? Karena setelah saya renungkan ternyata sangat mahal hidayah itu. Untuk menyelami substansi hidayah, saya mencoba membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bahwa hidayah itu petunjuk atau bimbingan dari Tuhan. Sejenak kita bayangkan, Allah SWT langsung membimbing dan memberi petunjuk. Luar biasa bukan?

 

Petunjuk dan bimbingan itu berupa nilai-nilai agama yang memancar pada nilai uluhiyah dan sosial. Selanjutnya terefleksi pada aktivitas keseharian. Kita bisa memilah siapa saja yang mendapatkan hidayah dari Allah? Permasalahan ini sangat penting karena pasti berbeda orang yang hidupnya memegang hidayah dengan yang tidak mengikuti rel hidayah. Rasulullah SAW tidak mampu memberikan hidayah kepada yang dicintai, hanya Allah yang berhak memberikan hidayah kepada yang dikehendaki. (QS. Al Qashas [28] : 56).

 

Ayat Alquran ini sangat jelas tentang mahalnya hidayah. Rasulullah pun tidak mampu memberikan hidayah kepada orang yang sangat dicintai. Padahal Rasulullah SAW insan paling taat, semua doanya diijabah Allah SWT. Konteks hidayah, semuanya hak prerogatif Allah SWT. Allah yang memberikan hidayah kepada orang yang dikehendaki.

 

Dalam konteks historis, banyak orang yang hidup pada zaman Nabi dan Rasul tetapi tidak mendapat hidayah. Bisa kita sebutkan Kan'an putra Nabi Nuh AS, Namruz raja di masa Nabi Ibrahim AS, Qarun dan Firaun di era Nabi Musa AS dan Abu Lahab serta Abu Jahal hidup pada zaman Nabi Muhammad SAW. Sederetan nama itu tidak mendapat hidayah kendati hidup pada zaman Nabi dan Rasul. Bahkan mereka menentang ajaran para Nabi dan Rasul serta mengancam ingin membunuh para utusan Allah SWT.

Untuk memahami hidayah secara intens, sebenarnya bagaimana sikap kita terhadap hidayah itu dan mengapa hidayah itu wajib kita pertahankan?


Pertama, bagi kita yang insya Allah hidayah tetap bersemayam dalam hidup, nilai hidayah perlu dipertahankan dengan komitmen beragama. Bukan hanya pengakuan dalam lisan, tetapi lebih penting hidayah itu diimplementasikan pada rona kehidupan. Saat  kita melaksanakan puasa di bulan Ramadan,   tetap istiqomah mengisi waktu dengan amaliah shalih. Tadarus Alquran tetap dilanjutkan. Doa dan zikir secara kontinu serta meningkatkan kualitas shalat fardu dan sunah. 

 

Karakter islami seperti inilah mampu mempertahankan hidayah hingga akhir hayatnya. Meminjam istilah Komarudin Hidayat (2008: 68) dengan sebutan "tahaqquq" menjadi mitra Allah SWT di Bumi. Lebih lanjut diuraikan bahwa sumber energi yang tak pernah habis adalah selalu mendekat kepada Tuhan dan melakukan perjumpaan intelektual dan spiritual untuk memperoleh sinergi batin sehingga memperkuat energi serta menguatakn motivasi beramal shaleh.

 

Dengan komitmen memegang hidayah menjadikan Allah SWT mendekat kepada pemegang hidayah. Hidupnya selalu berjuang menuju kebaikan. Berlomba-lomba dalam kebaikan dan menghembuskan virus manfaat kepada setiap insan. Indah bukan? Puncaknya Allah SWT sangat dekat kepada penggenggam hidayah. Selaras dengan QS. Albaqarah ayat 186 :"Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat." Diperkuat Surat Qaf ayat 16:"Dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya."

 

Kedua, ada orang yang memiliki hidayah tetapi tidak konsisten memegang hidayah. Hidupnya galau sering perbuatannya di luar koridor hukum Allah SWT. Sering meninggalkan kewajiban shalat, bahkan hidayahnya tertutupi dengan  nafsu duniawi. Tetapi saat ditanya, mengapa Anda melenceng dari aturan? Mereka menjawab, saya sedang khilaf.

 

Golongan seperti ini selalu menghalalkan segala cara untuk mencapai kesuksesan hidupnya meskipun dengan cara yang salah. Sebagai pemimpin, mereka selalu berprinsip "aji mumpung." Mengutamakan diri dan golongannya. Mereka mengira, jabatannya itu langgeng. Padahal semuanya titipan dari Sang Maha Menitip. Hari ini memegang posisi  tertentu, esok atau lusa pasti ditanggalkan. Bukankah jabatan itu Amanah dan relative sementara?

 

Urgensi eksistensi hidayah harus terus dipertahankan dalam kehidupan, sehingga sebagai manusia yang benar-benar manusia. Visi misinya selalu memanusiakan manusia. Hal ini berkaitan dengan agama. Orang yang beragama berarti mengabadikan hidayah dalam hidupnya. Quraish Shihab ( 1996:   376) mengutip pendapat William James bahwa "Selama manusia masih memiliki naluri cemas dan mengharap, selama itu pula ia beragama (berhubungan dengan Tuhan)."

 

Kian jelas bahwa nilai-nilai agama sebagai aktualisasi hidayah seseorang. Orang yang mampu mempertahankan hidayah berarti memiliki kualitas agama yang kokoh. Dalam kehidupannya selalu berupaya beramal shaleh dihiasi dengan keimanan kepada Allah SWT.

 

Narasi mahalnya hidayah ini sebagai pemicu kita untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Idealnya hidayah itu selalu mengkristal di dada, sehingga segala aktivitas kita memedomani nilai-nilai agama dibingkai dengan ilmu. Jelaslah, hidayah itu sangat mahal bukan? Wallahu Alam.

 

Dalam Ruang Hidayah

Selasa, 28 Maret 2023 / 06 Ramadan 1444 H Pkl. 04.23 Wib.

3 komentar untuk "Mahalnya Hidayah : Upaya Mempertahankan dalam Kehidupan"

  1. makasih kaang....Tema-nya mengena gaya tulisnya juga sederhana renyah enak dibaca! lanjut terus kang wahyu

    BalasHapus
  2. Kajian romadhon yang menyentuh. Moga tulisan ini juga bagian dari hidayah itu sendiri. Terima kasih pak haji.

    BalasHapus
  3. Seorang lulusan pesantren ternama belum tentu dapat mempertahankan hidayah apalagi meraih hidayah. Janten hidayah teh, tidak memandang latar belakang pendidikan yah. Semoga hidayah selalu mengkristal di dada. Allah meridhoi. Aamiin Ya Rabb.

    BalasHapus